27 Mei 2023
×
×
Today's Local
27 Mei 2023
Tutup x

Kisah Pilu Transmigran Mengawali Hidup di Tanah Toili

Membayangkan kehidupan awal-awal transmigran Toili adalah 180 derajat kebalikan dari hari ini.

Potret para calon imigran yang akan diberangkatkan ke daerah yang sudah disiapkan, adapun foto in merupakan salah satu bukti terjadinya sejarah transmigrasi di Indonesia. Foto:Ist/Net

Rombongan 180 kepala keluarga asal Pulau Jawa itu tiba dengan selamat di perairan laut Moilong bersama KM Klingi. Ini adalah transmigran pertama yang tiba di Kabupaten Banggai.

Mereka hampir menjalani separuh bulan berada diatas kapal yang bertolak dari pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, dan baru tiba 14 hari kemudian tepatnya 19 Januari 1965.

Kedatangan transmigran ke Toili (Kecamatan Moilong saat ini) adalah periode lanjutan dari transmigrasi yang memang sudah digalakan 1950-an di era Presiden Soekarno.

“Setibanya itu, kami di tampung di beberapa barak. Kebetulan kami sekeluarga dapat yang dekat kali (sungai),” kenang Mbah Sumilah yang kini usianya menginjak 80 tahun.

Mengawali hidup dilokasi transmigran saat itu semua serba susah.

Membayangkan kondisi masa tersebut adalah kebalikan 180 derajat di hari ini.

Hanya dalam 1 bulan para transmigran sudah kehabisan jatah beras, dan itu adalah baru permulaan menghadapi kerasnya hidup kemudian.

Banyak dari mereka harus bertahan dengan makan umbi-umbian liar yang hidup ditepi rawa. Kadang ada yang makan berhari-hari dengan buah kelapa. “Itu juga kadang di colong (curi),” tuturnya.

“Kebetulan mbah lanang, suami saya aktif di Masyumi sangat paham agama. Takut nyuri, terpaksa  kami makan ubi talas, ondot sampe berbulan-bulan lamanya,” ucapnya.

Selang beberapa bulan kemudian, satu persatu kepala keluarga sudah mulai meninggalkan barak dan membuat rumah gubuk ditanah pembagian pemerintah.

Saat itulah setiap kepala keluarga masing-masing harus hidup serba kekurangan, baik untuk kebutuhan sandang, pangan maupun hunian. Dengan kondisi jatah lahan masih semak belukar, semua harus dimulai dari Nol.

Rasa penyesalan sempat ada karena ikut transmigrasi. Tapi akhirnya rasa sesal itu hilang seketika, saat samar-samar terbetik kabar mengenai pemberontakan G30S PKI dan kericuhan besar di Banyuwangi tempat asal dirinya.

“Mulai dengar itu saya mantap untuk tinggal disini (Slamet Harjo),” jelas dia.

Semua berjuang hanya untuk makan dan bisa dapat sarung.

Cerita yang sama juga diungkapkan Mbah Mul, masa sulit kala itu sama dirasakan para transmigran.

“Tidak ada yang senang terus yang lain susah. Pokoke semua sama,” kata dia.

“Kami cari hidup sampai harus jalan kaki jadi buruh gergaji kayu di Roa (Lamala). Diperjalanan kami beberapa orang  makan buah-buah yang tumbuh dihutan,” kenang Mbah Mul.

Tujuannya cuma agar bisa punya uang hanya untuk beli beras dan dapat sarung.

“Banyak loh yang gak punya baju, awake dewe (kami sendiri yang pria) cuma pake kolor atau sarung. Jadi selain makan kami memang butuh kemul (sarung) untuk pengganti baju,” tutup pria 86 tahun ini.