Merekam Cerita dari Dataran Toili Sebelum Menjadi Lumbung Padi
Dari kejadian ilalang disangka pari, sehingga setiap panen keroso artine keberkahan dari gusti Allah – Kata Sukardi
Share This Article
Ini bulan ke empat berada di dataran Toili, Mbah Kardi salah satu transmigran yang pertama kali tiba dan ditempatkan di Unit 1 atau Desa Slamet Harjo dan Sumber Harjo saat ini.
Ia mengisahkan getirnya hidup kala itu, tapi baginya pula itu bukan sesautu yang membuatnya sedih, namun hanya kekonyolan yang pernah diingatnya.
“Bapak arep golek beras. Sing sabar neng ngomah yo,” pesan Kardi muda kala itu pada istri dan dua anaknya yang masih kecil.
Mereka yang berkawan enam orang itu berangkat dengan niat mencari buruhan (makan gaji) sebagai pemanen.
Pria kelahiran Blitar 1928 itu optimis mereka bisa pulang membawa beras tumbuk. Dengan berbekal ondot dan ubi talas rebus mereka terus melangkah kearah utara.
“Sopo ngerti ketemu perkampungan yang ada ladang padinya,” tukas Kardi kepada kawannya.
Tiba – tiba dari mereka menunjuk diarah kejauhan dengan gembira, “Kang, pari (padi) kang, ayo pari kui,” menirukan Dharmo yang gembira.
Sontak mereka berlari dibawah teriknya matahari tanpa alas kaki, ke enam dari mereka jatuh bangun tertahan lumput liar melihat padi menguning.
Saat kian dekat kaki-kaki lusuh mereka mulai tertahan, mata hampir tak berkedip lepas dari pandangan.
Terik matahari mulai redup menjelang senja, fatamorgana telah menipu pandangan. Tampak didepan hanyalah ilalang yang menguning, tak satupun dari mereka bersuara.
“Semua lemes, konco-koncoku (teman-teman) nangis semua,” ucap Kardi.
Dia yakin semua punya pikiran yang sama, sedih kembali tanpa hasil.
Kata Kardi itu kekonyolan yang menyedihkan, dimana mereka sama sekali tidak tau jika padi merupakan yang langka bagi etnis lokal.
Inilah kemudian kata Mbah Kardi menjadi bekal motivasi mereka menjadi petani utun yang ulet. Itu terbukti ketika pemerintah telah membuka lahan persawahan di dataran Toili.
Flashback itu pula, tak satupun dari mereka yang menjual bantuan pemerintah walau itu hanya sejengkal tanah.
“Dari kejadian ilalang disangka pari, sehingga setiap panen keroso artine (terasa) keberkahan dari gusti Allah,” ucap pria bernama lengkap Sukardi itu.
Mbah Kardi sendiri telah berpulang menghadap sang pencipta diusianya yang ke-84.
Mbah Kardi tiba sebagai transmigran pertama yang berjumlah 180 kepala keluarga, tepatnya 19 Januari 1965.