Pesisir Batui hingga Balantak yang Mencekam
Desas-desus keganasan perompak Tobelo membuat wilayah pesisir dijauhi dan memilih bermukim jauh ke pedalaman
Share This Article
Dari tepian pantai, secara berbondong-bondong orang-orang Batui, Tangkian, Kintom, dan Mendono terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka. Rasa takut semakin menyeruak ketika tau perompak tengah berlayar mendekat.
Itu sekitar akhir abad 18. Desas-desus keganasan perompak Tobelo yang tinggal di teluk-teluk atau pesisir pulau pulau kecil di Banggai Kepulauan sudah sampai ke telinga mereka. Bahkan keganasan Tobelo sudah ada yang pernah melihatnya langsung.
Dikatakan kegiatan perompak Tobelo ini semakin menjadi kala Sultan Nuku (Tidore) meninggal dunia. Wilayah pengembaraan pun diperluas, itu meliputi Laut Flores, Laut Banda, Laut Maluku, Teluk Tomini (Gorontalo), Kepulauan Banggai, dan daerah Tobungku, Kepulauan Butung atau Buton (Lapian, 2008:183).
Tidak hanya di Batui hingga Mendono, Balantak juga sudah diincar jadi wilayah penguasaan perompak.
Pada 1850, Van der Hart mengisahkan, ketika ia mengelilingi pulau dan seluruh hamparan pantai dari Kendari ke Balantak tampaknya menjadi “benar-benar kosong, penduduk dipindahkan ke pedalaman atau ke tempat lain,” seperti catat Hasanuddin pada jurnal sejarah ‘Pelayaran Dan Perdagangan di Banggai (Shipping And Trading In Banggai: 2016 November)’.
Saat itu kata Van der Hart, pesisir timur Sulawesi sangat tidak aman untuk ditinggali. Pada umumnya penduduk menghindari membuat pemukiman di pantai karena memiliki keterkaitan dengan merampok budak (Henley, 2005:430-431).
Di Balantak, kegiatan bajak laut Tobelo seringkali menculik penduduk untuk dijadikan budak. Namun, pada waktu selanjutnya, kedatangan bajak laut Tobelo mendapat perlawanan dari penduduk Balantak.
Adanya berbagai perlawanan ini mengakibatkan bajak laut Tobelo jarang masuk ke Balantak.
Pada 1820, Tobelo semakin tidak leluasa lagi akibat tekanan patroli kapal perang Belanda yang sudah rutin menyeriangi keberadaan mereka.